Poligami dalam Islam

Dr. Yusuf Al-Qardhawi menuliskan bahwa di masa lalu, peradaban manusia sudah mengenal poligami dalam bentuk yang sangat mengerikan, karena seorang laki-laki bisa saja memiliki bukan hanya 4 istri, tapi lebih dari itu. Ada yang sampai 10 bahkan ratusan istri. Bahkan dalam kitab orang yahudi perjanjian lama, Daud disebutkan memiliki 300 orang istri, baik yang menjadi istri resminya maupun selirnya. (Dr. Yusuf Al-Qardhawi, Ruang lingkup Aktivitas Wanita Muslimah, hal. 184)

Dalam Fiqhus-Sunnah, As-Sayyid Sabiq dengan mengutip kitab Hak-hak Wanita Dalam Islam karya Ustaz Dr. Ali Abdul Wahid Wafi menyebutkan bahwa poligami bila kita runut dalam sejarah sebenarnya merupakan gaya hidup yang diakui dan berjalan dengan lancar di pusat-pusat peradaban manusia. Bahkan bisa dikatakan bahwa hampir semua pusat peradaban manusia (terutama yang maju dan berusia panjang) mengenal poligami dan mengakuinya sebagai sesuatu yang normal dan formal. Para ahli sejarah mendapatkan bahwa hanya peradaban yang tidak terlalu maju saja dan tidak berusia panjang yang tidak mengenal poligami.Begitu juga dengan bangsa Arab sebelum Islam, mereka pun mengenal poligami. Dalam salah satu hadits disebutkan bahwa ada seorang masuk islam dan masih memiliki 10 orang istri. Lalu oleh Rasulullah SAW diminta untuk memilih empat saja dan selebihnya diceraikan. Beliau bersabda, “Pilihlah 4 orang dari mereka dan ceraikan sisanya”. (Hadits itu adalah hadits Iibnu Umar yang diriwayatkan oleh At-tirmizy hadits no. 1128, oleh Ibnu Majah hadits no. 1953)

Bangsa Yunani

Bangsa Yunani dikenal sebagai bangsa yang mempunyai peradaban dan kebudayaan yang tinggi dibanding bangsa lain. Namun demikian, wanita dalam masyarakat Yunani berada dalam puncak kemerosotan dalam segala aspek kehidupannya. Wanita pelacur dan pezina dianggap mempunyai kedudukan yang paling tinggi, sehingga para pemimpin saat itu ramai-ramai mendatangi dan mendekati mereka. Bahkan mereka sampai merekayasa cerita-cerita yang bernuansa seksual.Diantara cerita yang direkayasa ini adalah bahwa seorang dewi bernama adrovet menjalin hubungan gelap dengan seorang laki-laki dari golongan manusia sehingga lahirlah dewa asmara yang mereka namakan kupid.Berangkat dari cerita-cerita rekayasa inilah, akhirnya masyarakat Yunani tidak lagi peduli dan menghormati norma pernikahan, karena wanita menurut pandangan mereka hanyalah komoditas yang tidak berharga dan bisa dikuasai oleh siapapun. Lelaki manapun boleh memilikinya tanpa perlu menikah. Demikianlah sejarah mencatat bahwa budaya inilah yang menyebabkan kebesaran Yunani hancur.

Bangsa Romawi

Bangsa Romawi dianggap sebagai bangsa yang paling maju setelah Yunani. Sistem sosial mereka ternyata sangat menzhalimi, mengucilkan dan menindas kaum wanita. Kaum wanita hanya dianggap sebagai pemuas nafsu syahwat laki-laki. Pada akhirnya permesuman dan pencabulan merebak dimana-mana, dikalangan mereka juga terdapat tradisi mandi bersama ditempat umum yang dapat disaksikan orang banyak. Mereka mempunyai tradisi mudah bercerai meskipun karena sebab yang sepele, sehingga angka perceraian begitu tinggi. Hal yang paling mengherankan adalah sebagaimana yang diungkapkan oleh Kardinal Gerum (340-420 M) bahwa ada seorang wanita yang kawin untuk ke 23 kalinya dan pada saat bersamaan ia adalah istri ke 21 dari suami yang terakhir. Kemerosotan akhlaq inilah yang akhirnya benar-benar menghancurkan bangsa Romawi sebagaimana dialami oleh bangsa Yunani.

Bangsa Persia

Dinegeri Persia, seorang wanita dilarang kawin dengan laki-laki yang bukan penganut ajaran zoroaster, sedangkan laki-laki mempunyai kebebasan dalam bertindak sesuai kehendaknya. Dalam pandangan bangsa Persia kala itu, hukuman hanya berlaku bagi wanita. Mereka memberlakukan hukuman yang berat bagi wanita, sekalipun hanya untuk kesalahan kecil, sedang dipihak lain kaum laki-laki mempunyai kebebasan tanpa batas.

Bangsa Cina

Dalam masyarakat cina zaman dulu, kehidupan mereka nyaris seperti kehidupan yang liar tanpa norma serta jauh dari pola kehidupan manusia yang semestinya. Mereka saling berpasangan tanpa aturan dan rasa malu. Anak-anak hanya mengenal ibu-ibu mereka tanpa mengenal siapa ayah mereka.

Bangsa India

Wanita dalam struktur masyarakat India diperlakukan sebagai budak dan laki-laki sebagai tuannya, sehingga pada saat bersamaan, seorang wanita tetap menjadi anak milik bapaknya, istri milik suaminya dan terhadap anak-anaknya seolah-olah dia sebagai janda. Bahkan wanita tidak mempunyai hak hidup setelah kematian suaminya. Setiap wanita harus ikut dibakar hidup-hidup bersama mayat suaminya diatas kobaran api yang sama.

Bangsa Yahudi

Bangsa Yahudi memandang wanita sebagai salah satu pintu jahanam, karena wanitalah yang menyebabkan laki-laki terjerumus dalam perbuatan dosa. Wanita hanya diberi kebebasan hanya menjadi pelacur, dalam mempraktekkan pelacuran mereka membalutnya dengan nuansa kesucian dan melakukannya ditempat-tempat ibadah dengan mengatakan bahwa hal itu termasuk upaya mendekatkan diri pada tuhan. Kenyataan itu semakin jelas dengan banyaknya pendeta-pendeta Yahudi yang melakukan perzinaan dengan wanita pelacur dengan dalih pembebasan orang Yahudi dari dosa-dosa mereka. Dalam kitab suci yang sudah mereka ubah mereka diharamkan berbuat zina dengan wanita kerabatnya tetapi membolehkannya dengan wanita yang bukan kerabatnya.

Bangsa Eropa

Kemunculan kristen di Eropa dimaksudkan untuk membenahi kemerosotan akhlaq dan kemungkaran di Masyarakat Eropa. Pada pandangan para pemuka agama kristen bahwa wanita adalah sumber kemaksiatan dan asal-usul dari kejahatan dan dosa. Mereka juga beranggapan bahwa hubungan seksual antara laki-laki dan wanita adalah perbuatan kotor yang harus dijauhi walaupun dengan cara pernikahan. Hal inilah yang mendasari para pendeta kristen hidup membujang selamanya agar akhlaq mereka tetap terpelihara.

Bangsa Arab Jahiliyah

Keadaan wanita dalam pandangan bangsa arab sebelum islam sangatlah hina dan rendah. Seorang laki-laki dalam masyarakat arab jahiliyyah boleh memiliki beberapa istri tanpa batas dan perceraian juga tidak ada nilainya. Dalam rangka mendapatkan bibit unggul seorang suami dapat memerintahkan istrinya berhubungan dengan lelaki lain sampai diyakini istrinya hamil dari hubungan itu, baru kemudian sisuami dapat menggauli istrinya kembali. Ada juga kondisi dimana seorang wanita dapat digauli oleh beberapa orang pria, jika wanita itu hamil dan kemudian melahirkan maka wanita tersebut mengumpulkan para lelaki yang telah menggaulinya kemudian wanita tersebut menunjuk salah satu dari para lelaki tadi untuk menjadi ayah bagi anaknya tanpa adanya penolakkan bagi mereka yang ditunjuk.Bahkan tradisi masyarakat arab pada waktu itu sangat membenci dan merasa aib jika memiliki anak perempuan sehingga menguburnya hidup-hidup dalam rangka menjaga kehormatan keluarga.Demikianlah uraian ringkas tentang kondisi kaum wanita pada masa silam, yang mana dimata kebanyakan bangsa-bangsa diatas, menempatkan wanita pada posisi yang rendah dan hina.

Poligami itu bukan semata-mata produk syariat Islam karena jauh sebelum Islam lahir di tahun 610 masehi, peradaban manusia di penjuru dunia sudah mengenal poligami. Islam hadir dalam rangka membenahi kondisi jahiliyah yang terjadi pada saat itu. Bahkan Rasulullah dengan tegas menyampaikan bahwa beliau diutus Allah untuk memuliakan akhlaq manusia. Islam telah menjaga dan menempatkan kaum wanita pada derajat yang tinggi, islam mengakui hak-hak asasi dan hak-hak kekeluargaan mereka secara sempurna serta menjaga mereka dari perlakuan sebagai obyek syahwat dan nafsu semata.

DALIL POLIGAMI

“ Islam tidak menjadikan poligami sebagai sebuah kewajiban atau hal yang disunnahkan bagi muslim, tetapi hanya menjadikannya sebagai sesuatu yang mubah, yakni boleh dilakukan jika memang perlu oleh mereka “

Poligami atau dikenal dengan ta`addud zawaj pada dasarnya mubah atau boleh. Bukan wajib atau anjuran. Karena melihat siyaq ayatnya memang mensyaratkan harus adil. Dan keadilan itu yang tidak dimiliki semua orang. Allah berfirman : Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan yang yatim, maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. An-Nisa : 3) Jadi syarat utama adalah adil terhadap istri dalam nafkah lahir dan batin. Jangan sampai salah satunya tidak diberi cukup nafkah. Apalagi kesemuanya tidak diberi cukup nafkah, maka hal itu adalah kezaliman. Sebagaimana hukum menikah yang bisa memiliki banyak bentuk hukum, begitu juga dengan poligami, hukumnya sangat ditentukan oleh kondisi seseorang, bahkan bukan hanya kondisi dirinya tetapi juga menyangkut kondisi dan perasaan orang lain, dalam hal ini bisa saja istrinya atau keluarga istrinya. Pertimbangan orang lain ini tidak bisa dimentahkan begitu saja dan tentunya hal ini sangat manusiawi sekali. Karena itu kita dapati Rasulullah SAW melarang Ali bin abi Thalib untuk memadu Fatimah yang merupakan putri Rasulullah SAW. Sehingga Ali bin Abi Thalib tidak melakukan poligami. Kalau hukum poligami itu sunnah atau dianjurkan, maka apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW untuk melarang Ali berpoligami akan bertentangan. Selain itu yang sudah menjadi syarat paling utama dalam pertimbangan poligami adalah masalah kemampuan finansial. Biar bagaimana pun ketika seorang suami memutuskan untuk menikah lagi, maka yang harus pertama kali terlintas di kepalanya adalah masalah tanggung jawab nafkah dan kebutuhan hidup untuk dua keluarga sekaligus. Nafkah tentu saja tidak berhenti sekedar bisa memberi makan dan minum untuk istri dan anak, tapi lebih dari itu, bagaimana dia merencanakan anggaran kebutuhan hidup sampai kepada masalah pendidikan yang layak, rumah dan semua kebutuhan lainnya. Ketentuan keadilan sebenarnya pada garis-garis umum saja. Karena bila semua mau ditimbang secara detail pastilah tidak mungkin berlaku adil secara empiris. Karena itu dibuatkan garis-garis besar seperti masalah pembagian jatah menginap. Menginap di rumah istri harus adil. Misalnya sehari di istri tua dan sehari di istri muda. Yang dihitung adalah malamnya atau menginapnya, bukan hubungan seksualnya. Karena kalau sampai hal yang terlalu mendetail harus dibuat adil juga, akan kesulitan menghitung dan menimbangnya. Secara fithrah umumnya, kebutuhan seksual laki-laki memang lebih tinggi dari wanita. Dan secara faal, kemampuan seksual laki-laki memang dirancang untuk bisa mendapatkan frekuensi yang lebih besar dari pada wanita.Tapi kasus yang ekstrim memang mungkin saja terjadi. Suami memiliki tingkat dorongan kebutuhan yang melebihi rata-rata, sebaliknya istri memiliki kemampuan pelayanan yang justru di bawah rata-rata. Dalam kasus seperti ini memang sulit untuk mencari titik temu. Karena hal ini merupakan fithrah alamiah yang ada begitu saja pada masing-masing pihak. Dan kasus seperti ini adalah alasan yang paling logis dan masuk akal untuk terjadinya penyelewengan, selingkuh, prostitusi, pelecehan seksual dan perzinahan.Sehingga jauh-jauh hari Islam sudah mengantisipasi kemungkinan terjadinya fenomena ini dengan membuka pintu untuk poligami dan menutup pintu ke arah zina. Dari pada zina yang merusak nilai kemanusiaan dan harga diri manusia, lebih baik kebutuhan itu disalurkan lewat jalur formal dan legal. Yaitu poligami.

BERLEBIHAN DALAM MEMAHAMI MASALAH POLIGAMI

Ada orang yang terlalu berlebihan dalam memahami kebolehan poligami dalam Islam. Dan sebaliknya, ada kalangan yang berusaha menghalang-halangi terjadinya poligami dalam Islam, meski tidak sampai menolak syariatnya.

Pihak yang berlebihan

Menurut kalangan ini, poligami adalah perkara yang sangat utama untuk dikerjakan bahkan merupakan sunnah muakkadah dan pola hidup Rasulullah SAW. Kemana-mana mereka selalu mendengungkan poligami hingga seolah hampir mendekati wajib. Pemahaman keliru seperti itu sering menggunakan ayat poligami yang memang bunyinya seolah seperti mendahulukan poligami dan bila tidak mampu, barulah beristri satu saja. Istilahnya, poligami dulu, kalau tidak mampu, baru satu saja.

“Maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka seorang saja , atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. An-Nisa : 3) Padahal makna ayat itu sama sekali tidak demikian. Karena meski sepintas ayat itu kelihatan mendahulukan poligami lebih dahulu, tapi dalam kenyataan hukum hasil dari istinbath para ulama dengan membandingkannya dengan dalil-dalil lainnya menunjukan bahwa poligami merupakan jalan keluar atau rukhshah (bentuk keringanan) atas sebuah kebutuhan. Bukan menempati posisi utama dalam masalah pernikahan. Alasan agar tidak jatuh ke dalam zina adalah alasan yang ma`qul dan sangat bisa diterima. Karena Allah SWT memang memerintahkan agar seorang mukmin menjaga kemaluannya.

Allah SWT berfirman : “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, (QS. Al-Mukminun : 5) “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”. (QS. An-Nur : 30) Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, (QS. Al-Ma`arij : 29) Bila satu istri saja masih belum bisa menahan gejolak syahwatnya, sementara secara nafkah dia mampu berbuat adil, bolehlah seseorang untuk menikah lagi dengan niat menjaga agamanya. Bukan sekedar memuaskan nafsu syahwat saja. Bentuk kekeliruan yang lain adalah rasa terlalu optimis atas kemampuan menanggung beban nafkah. Padahal Islam tetap menuntut kita berlaku logis dan penuh perhitungan. Memang rezeki itu Allah SWT yang memberi, tapi rezeki itu tidak datang begitu saja. Bahkan untuk orang yang baru pertama kali menikah pun, Rasulullah SAW mensyaratkan harus punya kemampuan finansial. Dan bila belum mampu, maka hendaknya berpuasa saja. Jangan sampai seseorang yang penghasilannya senin kamis, tapi berlagak bak seorang saudagar kaya yang setiap hari isi pembicaraannya tidak lepas dari urusan ta`addud. Ini jelas sangat `njomplang`, jauh asap dari api.

Pihak yang mencegah poligami

Di sisi lain, ada kalangan yang menentang poligami atau paling tidak kurang bersimpati terhadap poligami. Mereka pun sibuk membolak balik ayat Al-Quran Al-Karim dan Sunnah Rasulullah SAW untuk mencari dalih yang bisa melarang atau minimal memberatkan jalan menuju poligami. Misalnya dengan mengikat seorang suami untuk janji tidak menikah lagi ketika melangsungkan pernikahan pertamanya. Janji itu diqiyaskan dengan sighat ta’qliq yang bila dilanggar maka istrinya diceraikan. Menanggapi hal ini, para ulama berbeda pendapat tentang syarat tidak boleh melakukan poligami bagi suami yang diajukan oleh isterinya pada saat aqad nikah. Apakah pensyaratan tersebut dibolehkan atau tidak ? Sebahagian ulama menyatakan bahwa pensyaratan tersebut diperbolehkan, sedangkan yang lain berpendapat hal tersebut dimakruhkan tetapi tidak haram. Karena dengan adanya pensyaratan tersebut maka suami akan merasa terbelenggu yang pada akhirnya akan menimbulkan hubungan yang kurang harmonis di antara keduanya. Lantas bagaimana sikap suami, apakah harus memenuhi syarat tersebut atau tidak? Ada dua pendapat ulama. Pendapat pertama menyatakan bahwa hukum memenuhi pensyaratan tersebut hanya sunah saja dan tidak wajib. Oleh karena itu suami bisa saja menikah dengan wanita yang lain. Hal tersebut berdasarkan sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Aisyah RA. “Barangsiapa yang mensyaratkan suatu syarat yang tidak terdapat dalam kitab Allah, maka ia tidak berhak melakukannya (Dan tidak perlu dipenuhi), meskipun ia mensyaratkan seratus persyaratan. Persyaratan Allah-lah yang lebih berhak dan lebih kuat” (HR Bukhori/Fathul Bari 6/115)

Ali bin Abi Tholib pernah berkata: “Syarat Allah sebelum syaratnya (wanita tersebut)”. Ibun Abdil Barr mengomentari bahwa Allah telah membolehkan melarang apa yang engkau kehendaki dengan sejumlah syarat, sedangkan apa yang Allah perbolehkan adalah lebih utama” (At-Tamhid 18/168-169) Pendapat kedua menyatakan bahwa suami wajib memenuhi persyaratan isterinya tersebut disebabkan pensyaratan tersebut adalah syah secara agama. Oleh karena itu ia tidak boleh melakukan poligami. Hal tersebut berdasarkan hadits :

“Pensyaratan yang paling utama untuk dipenuhi adalah syarat yang menghalalkan terjadinya hubungan badan” (HR Muslim 3/573, Tirmidzi No. 1124, Abu Daud 2139, Nasa’i 6/93 dan Ibnu Majah No. 1954)

Dalam riwayat Muslim disebutkan bahwa Nabi SAW bersabda :”Orang-orang muslim itu berdasarkan syarat-syarat mereka (yang disepakati) kecuali syarat yang menghalalkan yang haram atau syarat yang mengharamkan yang halal” (HR. Muslim 2/1036)

Pendapat kedua ini dipegang oleh sejumlah sahabat dan ulama antara lain Umar bin Al-Khottob, Amr bin Al-Ash, Syuraikh Al-Qodhi, Ishaq, Imam Ahmad, Ibnu Taimiyyah dan lain-lain (Jami’ Ahkamun-Nisaa III/361-370) Ada bentuk lain lagi dalam perkara menghalangi poligami, yaitu mereka mengatakan bahwa Rasulullah SAW tidak pernah melakukan poligami kecuali hanya kepada janda saja. Tidak pernah kepada wanita yang perawan. Memang ketika menikahi Aisyah ra, status Rasulullah SAW adalah seorang duda yang ditinggal mati istrinya. Dalam menjawab masalah ini, sebenarnya syarat harus menikahi wanita yang berstatus janda bukanlah syarat untuk poligami. Meski Rasulullah SAW memang lebih banyak menikahi janda ketimbang yang masih gadis. Namun hal itu terpulang kepada pertimbangan teknis di masa itu yang umumnya untuk memuliakan para wanita atau mengambil hati tokoh di belakang wanita itu. Pertimbangan ini tidak menjadi syarat untuk poligami secara baku dalam syariat Islam. Sebagian kalangan juga ingin menghalangi poligami dengan dasar bahwa syarat berlaku adil dalam Al-Quran Al-Karim adalah sesuatu yang tidak mungkin bisa dilakukan. Dengan demikian, maka poligami dilarang dalam Islam. Padahal, meski ada ayat yang demikian, yang dimaksud dengan keadilan tidak dapat dilakukan adalah keadilan yang bersifat menyeluruh baik materi maupun ruhi. Sementara keadilan yang dituntut dalam sebuah poligami hanya sebatas keadilan secara sesuatu yang bisa diukur dan lebih bersifat materi. Sedangkan masalah cinta dalam dada, sangat sulit untuk diidentifikasi. Namun demikian, Rasulullah SAW mengancam orang yang berlaku tidak adil kepada istrinya dengan ancaman. Aspek keadilan yang dituntut kepada seorang suami terhadap para istrinya bukanlah keadilan yang mutlak. Yang dimaksud hanyalah sikap adil seorang suami terhadap istri-istrinya sebatas yang masih berada dalam lingkaran kemampuan manusia untuk merealisasikannya. Sebab, Allah Swt. Sendiri tidak membebani manusia kecuali dalam batas-batas kesanggupannya. Dalam hal ini, Allah Swt. Berfirman: Allah tidak membebani seseorang melainkan dalam batas-batas kesanggupannya. (QS. Al-Baqarah : 286). Memang benar, kata ta’dilu yang tercantum dalam ayat di atas berbentuk umum, sebagaimana firman Allah Swt: Kemudian jika kalian takut tidak akan berlaku adil. Pengertian adil dalam ayat di atas berbentuk umum, yakni mencakup setiap bentuk keadilan. Akan tetapi, kata yang bersifat umum ini kemudian di-taksis (diperlakukan secara khusus) sesuai dengan kemampuan manusia berdasarkan keterangan ayat yang lainnya. Allah Swt. Berfirman : Sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara istri-istri kalian, walaupun kalian sangat ingin berbuat demikian. Oleh karena, janganlah kalian terlalu condong (kepada yang kalian cintai) hingga kalian membiarkan yang lainnya terkatung-katung. (QS an-Nisa :129) Dengan demikian, Allah Swt Telah menjelaskan di dalam ayat ini bahwa seseorang suami mustahil dapat berlaku adil dan bersikap seimbang di antara istri-istrinya sehingga ia tidak condong sama sekali tidak lebih dan tidak kurang terhadap kewajiban-kewajiban yang harus ditunaikan terhadap mereka. Oleh karena itu, Anda tidak dituntut untuk benar-benar berbuat adil secara sempurna dan harus mencapai puncak keadilan. Apa yang dibebankan oleh Allah Swt. Atas diri Anda adalah sebatas kemampuan Anda, dengan syarat, Anda telah mengerahkan segala kemampuan dan potensi diri Anda. Sebab, pembebanan (taklif) di luar kemampuan dapat digolongan ke dalam ke dalam tindakan kezaliman. Padahal, Allah Swt. Sendiri telah berfirman : Tuhan tidak akan berlaku zalim terhadap seorang pun. (QS. al-Kahfi : 59) Oleh karena itu, janganlah kalian terlalu condong (kepada yang kalian cintai). (QS. An-Nisaa : 129). Potongan ayat diatas merupakan penjelasan sekaligus komentar potongan ayat sebelumnya yang berbunyi : Kalian sekali-kali tidak akan berlaku adil. (QS an-Nisa : 129) Pernyataan tersebut merupakan dalil bahwa Anda tidak akan pernah dapat berlaku adil dalam membagi cinta dan kasih-sayang, meski dapat berlaku adil dalam membagi di luar masalah cinta dan kasih sayang. Inilah bentuk keadilan yang dituntut dan diwajibkan sebagaimana diungkap dalam ayat sebelumnya. Dengan itu, keadilan yang di tuntut adalah khusus diluar masalah cinta dan kasih sayang, dan tidak dalam masalah cinta (kasih sayang) dan jima (persetubuhan). Oleh karena itu, dalam dua perkara ini, tidak ada kewajiban untuk berlaku adil, karena manusia tidak akan sanggup berlaku adil dalam masalah cinta dan kasih sayang. Pengertian semacam ini ditegaskan dalam hadits yang diriwayatkan dari Aisyah r.a. yang bertutur demikian. Rasulullah saw. pernah bersumpah untuk berlaku adil seraya berdoa: “ ya Allah, sesungguhnya sumpahku ini adalah atas apa yang aku sanggupi. Oleh karena itu janganlah engkau memasukkan diriku kedalam persoalan yang engkau sanggupi namun aku tidak memiliki kesanggupan atasnya (yaitu hatinya)”. Berkaitan dengan firman Allah Swt yang maknanya, ”kalian sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil. (QS an-Nisa :129), ibn Abbass r.a. menuturkan bahwa Nabi saw. pernah menyatakan demikian, “ yakni dalam masalah cinta dan persetubuhan”. Melalui ayat diatas, Allah Swt. Telah memerintahkan untuk menjauhkan diri dari kecondongan mutlak (kullu al-mayl). Artinya, Allah Swt. Sebetulnya membolehkan adanya sikap condong tersebut. Sebab, dapat dipahami bahwa, larangan terhadap kecondongan mutlak-secara implisit-mengisyaratkan adanya kebolehan untuk bersikap condong (yang tidak mutlak). Larangan ini persis seperti larangan Allah Swt. Untuk bersikap royal, sebagaimana firman-nya : Janganlah kamu terlalu menulurkannya (terlalu royal). Yang maknanya yaitu boleh mengulurkan tangan atau memberi (asal tidak terlalu royal). Atas dasar ini, Allah Swt. Telah membolehkan suami untuk bersikap condong kepada sebagian istrinya, tetapi melarang bersikap condong secara total (membabi-buta) dalam setiap urusan kepada sebagian istrinya itu. Bahkan sikap condong ini boleh dilakukan selama sesuai dengan tempatnya, yaitu dalam masalah cinta (kasih sayang) dan selera (hasrat seksual). Dalam hal ini, Abu Hurairah r.a menuturkan bahwa nabi saw. pernah bersabda sebagai berikut, yang artinya : barangsiapa yang mempunyai dua orang istri, lalu ia bersikap condong kepada salah satu di antara mereka, niscaya ia akan datang pada hari kiamat nanti sambil menyeret sebelah pundaknya dalam keadaan terputus atau condong. Atas dasar ini, keadilan yang diwajibkan atas seorang suami adalah bersikap seimbang di antara para istrinya sesuai dengan kemampuannya, baik dalam hal bermalam atau memberi makan, pakaian, tempat tinggal, dan lain-lain. Sebaliknya, dalam perkara-perkara yang termasuk ke dalam pengertian bolehnya bersikap condong, yakni dalam masalah cinta dan selera (hasrat seksual), maka tidak ada kewajiban untuk bersikap benar-benar adil, karena hal itu memang berada di luar kemampuan, di samping dikecualikan berdasarkan nash Al-Quran.

REALITAS DI MASYARAKAT

“ Lucunya, banyak negara yang mengharamkan poligami formal yang mengikat dan menuntut tanggung jawab, sebaliknya seks bebas yang tidak lain merupakan bentuk poligami yang tidak bertanggung jawab malah dibebaskan, dilindungi dan dihormati “ Namun anehnya, sistem hukum dan moral masyarakat membolehkan perzinahan, homoseksual, lesbianisme dan gonta ganti pasangan suami istri. Padahal semua pasti tahu bahwa poligami jauh lebih beradab dari semua itu. Sayangnya, ketika ada orang berpoligami dan mengumumkan kepoligamiannya, semua ikut merasa `jijik`, sementara ketika hampir semua lapisan masyarakat menghidup-hidupkan perzinahan, pelacuran, perselingkuhan, homosek dan lesbianisme, tak ada satu pun yang berkomentar jelek. Semua seakan kompak dan sepakat bahwa perilaku bejat itu adalah `wajar` terjadi sebagai bagian dari dinamika kehidupan modern. Dr. Yusuf Al-Qardhawi mengatakan bahwa pada hakikatnya apa yang dilakukan oleh Barat pada hari ini dengan segala bentuk perzinahan yang mereka lakukan tidak lain adalah salah satu bentuk poligami juga, meski tidak dalam bentuk formal. Dan kenyataannya mereka memang terbiasa melakukan hubungan seksual di luar nikah dengan siapapun yang mereka inginkan. Di tempat kerja, hubungan seksual di luar nikah menjadi sesuatu yang lazim dilakukan mereka baik sesama teman kerja, antara atasan dan bawahan atau pun klien mereka. Ditempat umum mereka terbiasa melakukan hubungan seksual di luar nikah baik dengan wanita penghibur, pelayan restoran, artis dan selebritis. Di sekolah pun mereka menganggap wajar bila terjadi hubungan seksual baik sesama pelajar, antara pelajar dengan guru atau dosen, antar karyawan dan seterusnya. Bahkan di dalam rumah tangga pun mereka menganggap boleh dilakukan dengan tetangga, pembantu rumah tangga, sesama anggota keluarga atau dengan tamu yang menginap. Semua itu bukan mengada-ada karena secara jujur dan polos mereka akui sendiri dan tercermin dalam film-film hollywood dimana hampir selalu dalam setiap kesempatan mereka melakukan hubungan seksual dengan siapa pun. Jadi peradaban barat membolehkan poligami dengan siapa saja tanpa batas, bisa dengan puluhan bahkan ratusan orang yang berlainan. Dan sangat besar kemungkinannya mereka pun telah lupa dengan siapa saja pernah melakukannya karena saking banyaknya. Dan semua itu terjadi begitu saja tanpa pertanggung-jawaban, tanpa ikatan, tanpa konsekuensi dan tanpa pengakuan. Apabila terjadi kehamilan, sama sekali tidak ada konsekuensi hukum untuk mewajibkan bertanggung-jawab atas perbuatan itu. Poligami tidak formal alias seks di luar nikah itu alih-alih dilarang, malah sebaliknya dilindungi dan dihormati sebagai hak asasi. Lucunya, banyak negara yang mengharamkan poligami formal yang mengikat dan menuntut tanggung jawab, sebaliknya seks bebas yang tidak lain merupakan bentuk poligami yang tidak bertanggung jawab malah dibebaskan, dilindungi dan dihormati. Atas dasar ini, digambarkan implikasi positif dari adanya poligami. Gambaran tersebut menyatakan bahwa, di dalam suatu komunitas masyarakat yang membolehkan adanya poligami tidak akan mungkin ditemukan adanya wanita-wanita simpanan. Sebaliknya, di dalam komunitas masyarakat yang menghalang-halangi adanya poligami akan mungkin dijumpai banyaknya wanita-wanita simpanan. Lebih dari itu, poligami ternyata dapat memecahkan banyak sekali problem yang terdapat di dalam suatu komunitas masyarakat dengan sifatnya yang hakiki sebagai sebuah komunitas manusia. Berbagai problem yang mengemuka tersebut tentu memerlukan adanya pemecahan, antara lain melalui poligami. Beberapa problem tersebut antara lain : þ Ditemukannya sejumlah tabiat yang tidak biasa pada sebagian pria, yakni tidak merasa puas hanya dengan memiliki satu orang istri. Akibatnya, mereka bisa saja mengekspresikan hasrat seksualnya yang menggebu terhadap istrinya sehingga dapat berdampak buruk bagi istrinya itu, atau akan mencari wanita lain untuk dijadikan istri jika terdapat pintu dihadapannya yang bisa memberikan peluang untuk melangsungkan pernikahan lagi; dengan dua, tiga,atau empat wanita. Dalam keadaan semacam ini (ketika tidak peluang untuk berpoligami) akan muncul dampak buruk berupa tersebar luasnya kekejian di tengah-tengah manusia, serta meluasnya purbasangka dan keragu-raguan antara anggota keluarga. Oleh karena itu, bagi orang yang memiliki tabiat seperti ini, harus ada peluang yang terbuka dihadapannya dalam rangka memenuhi dorongan biologisnya yang luar biasa itu, yakni peluang yang halal yang telah disyariatkan oleh Allah Swt. þ Sering dijumpai adanya wanita (istri) yang mandul, tidak memiliki anak. Tetapi, ia tetap menaruh rasa cinta di dalam kalbunya kepada suaminya, dan suaminya pun tetap menaruh rasa cinta di dalam hatinya kepada istrinya. Rasa cinta tersebut mampu mendorong keduanya untuk tetap mempertahankan keberlangsungan mahligai kehidupan rumah tangga mereka dengan penuh ketentraman. Namun, sang suami sangat ingin mempunyai anak, dan sangat cinta kepada anak-anak. Dalam keadaan demikian, jika ia tidak diperbolehkan untuk menikah lagi, sementara dihadapannya dunia terasa sempit, maka boleh jadi ia kan menceraikan istri pertamanya, meruntuhkan pilar rumah tangga dan kedamaiannya, sekaligus memporak porandakan mahligai kehidupan suami istri dan ketentraman yang telah di binanya. Boleh jadi pula, ia tidak diperbolehkan sama sekali untuk mengecap nikmatnya memiliki keturunan dan anak-anaknya. Dalam kondisi semacam ini, berarti telah terjadi “pemerkosaan” terhadap penampakan rasa kebapakan sebagai bagian naluri seksualnya. Oleh karena itu, seorang suami yang menghadapi situasi seperti ini harus mendapatkan kesempatan untuk menikah lagi dengan wanta lain agar mendapatkan anak-keturunan yang diidamkannya. þ Kadang-kadang ditemukan adanya seorang istri yang menderita sakit sehingga tidak memungkinkan baginya melakukan hubungan suami istri yang menderita sakit, atau tidak dapat melakukan pelayanan yang semestinya terhadap rumah tangga, suami, dan anak-anaknya. Padahal, sang istri memiliki kedudukan yang istimewa di mata suaminya, sehingga suaminya benar-benar mencintainya, dan tidak ingin menceraikannya. Sementara pada saat yang sama, suaminya merasa tidak akan sanggup hidup bersama istrinya yang lemah itu tanpa adanya istri yang lain. Dalam kondisi semacam ini, tentu harus diberikan kepada sang suami kesempatan untuk menikahi lebih dari satu istri. þ Terjadinya banyak peperangan atau pergolakan fisik telah mengakibatkan jatuhnya korban berupa ribuan, bahkan jutaan, kaum pria. Akibatnya, tidak ada keseimbangan antara jumlah kaum pria dan wanita, seperti yang pernah terjadi pada perang Perang Dunia I dan II yang melanda dunia, khususnya di daratan Eropa,. Jika kaum pria tidak sanggup mengawini lebih dari satu wanita, lalu apa yang harus dilakukan oleh sejumlah besar kaum wanita yang ada? mereka akan hidup tanpa pernah mengecap nikmatnya kehidupan berumah tangga sekaligus ketentraman dan ketenangan hidup sebagai suami istri. Lebih dari itu, kondisi semacam ini dapat menimbulkan adanya bahaya yang dapat mengancam nilai-nilai akhlak akibat munculnya naluri seksual yang tidak bisa dibendung. þ Acapkali ditemukan bahwa, tingkat pertumbuhan penduduk laki-laki dan perempuan suatu umant, bangsa, atau belahan dunia tertantu tiadak seimbang. Kadang-kadang jumlah kaum perempuan tidak seimbang. Kadang-kadang jumlah kaum perempuannya lebih banyak ketimbang jumlah kaum laki-lakinya. Akibatnya, tidak ada keseimbangan antara populasi perempuan dan laki-laki. Realitas seperti ini nyaris melanda sebagian besar bangsa dan umat di dunia. Dalam keadaan seperti ini, tidak ada solusi yang dapat mengatasi problematika ini, kecuali dengan dibolehkannya poligami. Itulah beberapa problem real yang terjadi ditengah-tengah komunitas dan melanda sejumlah bangsa atau umat. Jika poligami di larang, problem seperti ini akan tetap ada tanpa ada pemecahan yang pasti, karena tidak ada solusi atas masalah tersebut, kecuali dengan poligami. Dari sinilah, poligami harus dibolehkan sehingga problem yang menimpa umat manusia dapat dipecahkan.

KESIMPULAN

Dari beberapa penjelasan mengenai latar belakang sejarah, dalil, dan realitas masyarakat tentang Poligami, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :

1. Poligami itu bukan semata-mata produk syariat Islam karena jauh sebelum Islam lahir di tahun 610 masehi, peradaban manusia di penjuru dunia sudah mengenal poligami.

2. Peradaban barat membolehkan “poligami” dengan siapa saja tanpa batas, bisa dengan puluhan bahkan ratusan orang yang berlainan. Dan semua itu terjadi begitu saja tanpa pertanggung-jawaban, tanpa ikatan, tanpa konsekuensi dan tanpa pengakuan.

3. Islam datang dalam kondisi dimana masyarakat dunia telah mengenal poligami selama ribuan tahun dan telah diakui dalam sistem hukum umat manusia. Justru Islam memberikan aturan agar poligami itu tetap selaras dengan rasa keadilan dan keharmonisan, serta segudang aturan main lainnya sehingga meski mengakui adanya poligami, namun poligami yang berkeadilan sehingga melahirkan kesejahteraan.

4. Islam hadir dalam rangka membenahi kondisi jahiliyah yang terjadi pada saat itu. Bahkan Rasulullah dengan tegas menyampaikan bahwa beliau diutus Allah untuk memuliakan akhlaq manusia. Islam telah menjaga dan menempatkan kaum wanita pada derajat yang tinggi, islam mengakui hak-hak asasi dan hak-hak kekeluargaan mereka secara sempurna serta menjaga mereka dari perlakuan sebagai obyek syahwat dan nafsu semata.

5. Islam tidak menjadikan poligami sebagai sebuah kewajiban atau hal yang disunnahkan bagi muslim, tetapi hanya menjadikannya sebagai sesuatu yang mubah, yakni boleh dilakukan jika memang perlu oleh mereka.

6. Kita tidak mengingkari, bahwa berpoligami terkadang mendatangkan berbagai problem, dan ini merupakan sesuatu yang wajar. Dan masalah rumah tangga tidak hanya dihadapi oleh mereka yang berpoligami saja, yang beristri satu pun pasti akan menghadapinya, tinggal bagaimana para suami dan istri mensikapi dan menyelesaikan masalah tersebut.

Leave a comment